Kamis, 21 Juni 2018

Meluruskan historis hari raya ketupat : antara perintah agama dan realitas budaya madura

Madura dan semua pernak perniknya adalah satu anugerah yang tak bisa dipungkiri, disamping memiliki keragaman budaya yang tidak bisa dilegas-sah kan secara syariah juga banyak aktivitas yang telah memenuhi syarat untuk diklaim sebagai budaya yang tetap ada kesesuaian dengan ajaran islam, seperti hari raya ketupat. 

Hari raya ketupat telah dilaksanakan sejak ratusan tahun yang lalu oleh masyarakat madura khususnya daerah leke dhalem, nung malang, jatean, dan beberapa kota besar di desa lenteng dan ganding. namun demikian mereka menerima dan melakukannya dengan baik tanpa ada beban untuk merayakannya. Sepintas hari raya ketupat memang tak berdasar dan bisa jadi klaim bid'ah dapat denga mudah distempelkannya terutama oleh golongan sebelah dengan alasan tidak ada ayat atau hadits yang mendasarinya.

Jika dilihat dari grafis historis sejak wali songo islam menjadi booming dan diterima oleh masyarakat madura, dalil yang bisa dijadikan pijakan pelaksanaan hari raya ketupat adalah sebuah hadits yang berbunyi : من صام رمضان فاتبعه بست من شوال فكانما صام الدهر
Barang siapa yang puasa di bulan Ramdhan lalu ia berpuasa 6 hari pada bulan syawal, maka ia sperti telah berpuasa 1 tahun

ulama terdahulu (walisongo) mengajarkan masyarakat agar mngikuti jejak Nabi untuk berpuasa 6 hari di bulan syawal setelah ia menjalani puasa selama 1 bulan penuh. lalu setelah hari raya idul fitri ia berpuasa 6 hari maka seminggu setelah itu mereka merayakan kemenangannya yang ke dua kali yakni berhari raya ketupat. sementara itu di beberapa daerah yang kurang memahami akan historis syariyyah ini menganggap hari raya selama 7 hari lalu ia meraikannya selama 7 hari tanpa henti hingga 1 minggu pasca idul fitri. maka budaya inilah sebenarnya yang pantas diklaim sebagai pelaku bid'ah.

Tidak ada komentar: